Mantanku Kekasihku, Jejak yang Tertinggal

oleh -38 Dilihat
oleh

Ceritaku– Santi duduk di sudut tempat tidur hotel, tangannya gemetar meski tak ada angin yang bertiup. Dinding kamar bernomor 307 itu seolah menutup mereka dari dunia luar. Tirai tebal membatasi pemandangan luar, membungkus ruang kecil itu dalam suasana yang hening namun berat. Andi baru saja selesai merapikan pakaiannya di seberang kamar. Dia tersenyum tipis, ekspresinya seperti tak terbaca.

Santi menatap punggung Andi dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia merasa puas. Tubuhnya masih merasakan sisa kehangatan, gemetar tipis yang menyeruak di antara kerumunan pikirannya. Sudah lama dia tidak merasa seperti ini—terasa hidup, merasa diinginkan. Andi selalu memiliki kekuatan itu, keperkasaan yang dulu membuat Santi terpesona dan kini, bertahun-tahun kemudian, masih mampu membuat hatinya bergetar.

Namun, ada perasaan yang tak bisa dia abaikan, bayang-bayang wajah suaminya, Bayu, yang berkedip di pikirannya. Bayu, yang selalu lembut, penuh kasih, dan mungkin, terlalu sibuk untuk menyadari betapa kesepian Santi di rumah. Mereka menikah selama tujuh tahun, tapi entah kapan semua itu mulai terasa datar.

“Kamu masih mikirin dia?” suara Andi memecah keheningan, membuat Santi tersentak. Andi mendekatinya, duduk di tepi tempat tidur sambil memperhatikan wajahnya.

Santi terdiam sesaat, tidak tahu harus berkata apa. Dia menundukkan kepala, jemarinya mengait kain seprai, meremasnya tanpa sadar. Dia tahu apa yang dilakukannya salah, sangat salah. Tapi kenapa rasanya begitu melegakan? Kenapa ia merasa dihidupkan kembali oleh seseorang dari masa lalu, padahal dia tahu ini adalah dosa besar?

“Bayu… dia baik, Andi. Tapi aku…” suaranya melemah, tenggelam dalam kebingungan.

Andi menghela napas, tangannya menyentuh bahu Santi lembut. “Aku nggak nyalahin kamu, San. Hubungan bisa berubah. Lagipula, kita udah lama nggak bareng. Dulu kamu yang ninggalin aku, sekarang malah kita di sini.”

Santi menutup matanya, mencoba menahan rasa bersalah yang menyesak di dadanya. “Aku nggak tahu kenapa aku di sini, Andi. Aku cuma… butuh sesuatu. Dan kamu ada.”

Andi tersenyum miring. “Kamu nggak perlu jelasin, aku paham.”

Waktu seolah berjalan lambat di kamar itu. Santi masih duduk, merasa diselimuti oleh kabut emosi yang tidak jelas. Keperkasaan Andi tadi membangkitkan kenangan masa mudanya, saat dia merasa bebas, liar, dan tanpa beban. Tapi perasaan itu segera tergantikan oleh perasaan kosong, seperti bayangan bahwa semua ini hanya sementara—kebahagiaan yang curang.

“Aku nggak bisa terus begini, Andi,” bisik Santi pelan, hampir tidak terdengar.

Andi menatapnya, lalu mengangguk perlahan. “Aku tahu. Kita cuma… terjebak di momen lama.”

Santi menarik napas panjang, mengangkat wajahnya, menatap Andi dengan mata yang penuh kebingungan. “Aku harus pulang.”

Andi berdiri, membiarkannya bangun dari tempat tidur. Dia tidak berkata apa-apa, hanya memandanginya dengan tatapan penuh pengertian yang anehnya membuat Santi merasa lebih bersalah. Dia berjalan menuju pintu, memegang gagang pintu dengan tangan yang bergetar, seolah baru sadar bahwa saat dia melangkah keluar, tak ada yang bisa diubah. Jejak yang dia tinggalkan di hotel ini akan selalu membayanginya, meskipun tak terlihat oleh siapa pun.

Santi menatap Andi sekali lagi sebelum pergi. “Aku minta maaf.”

Andi hanya tersenyum. “Kamu nggak perlu minta maaf, San. Tapi hati-hati, kadang jejak kecil bisa berujung besar.”

Pintu kamar tertutup dengan bunyi klik yang nyaris tak terdengar, namun di dalam hati Santi, itu terdengar seperti gemuruh yang keras. Langkahnya terasa berat saat dia melangkah keluar, meninggalkan bayang-bayang hotel dan mantan yang sesaat memberikan ilusi kebebasan.

Di luar, Santi memandang ponselnya. Ada pesan masuk dari Bayu: “Sayang, nanti malam makan malam bareng, ya? Aku ada kejutan.”

Santi menelan ludah, rasa bersalah mulai menekan tenggorokannya. Dia tahu, sebesar apapun kejutan dari suaminya, tak akan bisa menyembuhkan luka yang baru saja dia buat sendiri.