Rumah Boneka di Karang Joang Balikpapan Utara

oleh -18 Dilihat
oleh

Ceritaku– Di kawasan hutan Karang Joang, Balikpapan Utara, terdapat sebuah rumah tua yang hampir terlupakan. Lokasinya terpencil, sekitar 200 meter masuk ke dalam hutan lebat. Rumah itu kusam, dindingnya ditumbuhi lumut, dan atapnya sebagian besar sudah roboh. Di dalam rumah itu, ada satu hal yang membuat bulu kuduk merinding: sebuah boneka yang konon setiap malam berpindah tempat.

Cerita tentang rumah ini sudah lama beredar di kalangan penduduk setempat. Katanya, siapa saja yang berani mendekat atau masuk ke dalam rumah itu akan merasakan kehadiran sesuatu yang tidak kasat mata. Boneka usang yang terletak di tengah ruangan seolah-olah memiliki kehidupan sendiri, dan setiap malam, ia selalu berada di posisi yang berbeda dari sebelumnya.

Malam itu, Rina dan teman-temannya, Andi dan Budi, memutuskan untuk membuktikan cerita yang selama ini hanya mereka dengar. Rasa penasaran mengalahkan rasa takut, dan mereka menantang diri untuk mengunjungi rumah tua di Karang Joang. Saat mereka berjalan memasuki hutan, kegelapan malam semakin pekat, dan suara angin berdesir di antara pepohonan menambah suasana mencekam.

“Ini hanya cerita lama. Nggak ada yang perlu ditakutkan,” kata Andi dengan nada tak yakin, mencoba menyemangati dirinya sendiri.

Setelah berjalan cukup lama, mereka tiba di depan rumah tua itu. Dari luar, rumah tersebut tampak lebih mengerikan daripada yang mereka bayangkan. Pintu kayu setengah terbuka, berderit pelan saat angin menerpanya. Dengan jantung berdebar, mereka melangkah masuk.

Di dalam ruangan, suasananya hening. Udara terasa lembap dan dingin, meski di luar tidak sedang hujan. Dan di tengah ruangan, duduk di atas kursi tua yang reyot, adalah boneka yang dimaksud. Boneka itu terlihat lusuh, dengan mata kaca yang menatap kosong ke arah mereka. Rambutnya acak-acakan, seolah-olah sudah lama tidak dirawat.

“Lihat, bonekanya benar-benar ada,” bisik Rina.

Budi mendekati boneka itu dengan hati-hati. Ia memperhatikan setiap detailnya, lalu tanpa sadar mengulurkan tangan untuk menyentuhnya. Saat jarinya baru saja menyentuh kain boneka, terdengar suara langkah kaki berderap dari lantai atas. Langkah kaki itu berat, pelan, tapi semakin mendekat.

“Siapa itu?” Andi bertanya dengan suara bergetar.

Semua menoleh ke arah tangga kayu yang menghubungkan lantai bawah dengan atas. Namun, tidak ada seorang pun di sana. Langkah kaki berhenti, meninggalkan mereka dalam diam yang menakutkan. Mereka mulai merasakan ada sesuatu yang mengawasi mereka.

Tanpa diduga, boneka di kursi itu tiba-tiba jatuh ke lantai dengan bunyi gedebuk yang keras. Semua terkejut, tubuh mereka menegang. Boneka yang tadi diam tak bergerak, kini tergeletak dengan posisi berbeda, seolah ia sendiri yang memutuskan untuk bergerak.

“Ayo keluar sekarang!” seru Rina, ketakutan.

Namun sebelum mereka sempat berlari keluar, terdengar suara tawa perempuan melengking dari arah jendela. Tawa itu begitu menyeramkan, menembus malam dan menusuk hati mereka. Andi menoleh, dan di luar jendela yang kotor itu, dia melihat sosok yang tak mungkin ia lupakan: kuntilanak berambut panjang, berpakaian putih, berdiri di antara pepohonan dengan mata merah menyala.

“Ayo keluar sekarang!” teriak Budi, menarik lengan Rina.

Mereka berlari secepat mungkin keluar dari rumah itu, meninggalkan boneka, tawa menyeramkan, dan bayangan kuntilanak di belakang mereka. Suara langkah kaki misterius dan tawa hantu itu masih terngiang di telinga mereka ketika mereka berhasil keluar dari hutan.

Setibanya di rumah, mereka tidak berani menceritakan pengalaman mereka kepada siapa pun. Namun satu hal yang mereka tahu pasti—rumah di hutan Karang Joang itu tidak hanya dihuni oleh boneka yang berpindah tempat, tetapi juga oleh sosok-sosok lain yang lebih mengerikan.

Dan sampai sekarang, tidak ada yang berani kembali ke rumah tua itu. Setiap malam, boneka itu masih duduk di sana, menunggu korban berikutnya, sementara kuntilanak tetap mengintai dari balik pepohonan.